Pemutusan Hubungan Kerja
Semangat pagi para pembaca setia ManajemenSDM.net
Hari ini kami ingin berbagi pengetahuan tentang pelaksanaan PHK.
Sembari menikmati secangkir kopi hitam, mari kita telaah artikel hari ini.
–
Belum lama, khalayak diramaikan dengan adanya berita PHK massal di salah satu perusahaan media televisi nasional.
Benar atau tidaknya memang masih belum bisa dipastikan karena pihak terkait belum menyampaikan secara konfirmasi resmi atas berita tersebut.
Sekarang ini, muncul lagi berita dari salah satu startup unicorn di Indonesia yang kabarnya sedang melakukan pemangkasan jumlah karyawan (PHK) secara besar-besaran.
Kondisi yang anomali, di mana di satu sisi sedang kencang-kencangnya geliat industri digital, tapi di sisi lain muncul fenomena ini
Terlepas benar atau tidaknya berita ini, faktanya hal ini acapkali ditemui di lapangan.
Ssehingga menarik untuk dianalisa lebih lanjut dari perspektif hukum ketenagakerjaan.
Hal ini sebagai penambah wawasan dan mungkin bisa jadi alternatif pilihan di-best practice bagi para pemangku kepentingan.
Ngobrol yuk!
#01 : Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Karyawan
UU Ketenagakerjaan telah mengatur mengenai PHK yang mana jika dilihat dari sisi penyebabnya secara garis besar terbagi dalam 3 alasan, yaitu :
PHK karena Hukum, antara lain:
- PHK karena kematian pekerja (Pasal 61 ayat (1) huruf a jo. Pasal 166 UU Ketenagakerjaan);
- PHK karena berakhirnya masa berlaku perjanjian kerja waktu tertentu (Pasal 61 ayat (1) huruf b UU Ketenagakerjaan);
- PHK karena putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang berkekuatan hukum tetap (Pasal 61 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan).
PHK karena Inisiatif Karyawan, antara lain:
- PHK karena inisiatif karyawan antara lain adalah PHK karena pengunduran diri karyawan itu sendiri (Pasal 154 UU Ketenagakerjaan);
- PHK atas permintaan karyawan karena Pengusaha melakukan pelanggaran hukum (Pasal 169 UU Ketenagakerjaan);
- PHK karena permintaan karyawan akibat Sakit Berkepanjangan selama satu tahun atau lebih (Pasal 172 UU Ketenagakerjaan).
PHK karena inisiatif Pengusaha, antara lain:
- PHK karena karyawan tidak lulus masa percobaan tiga bulan (Pasal 154 huruf a UU Ketenagakerjaan);
- PHK karena karyawan melakukan pelanggaran berat (yang harus menyesuaikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 012/OUU-I/2003 tertanggal 26 Oktober 2004);
- PHK karena karyawan ditahan selama 6 (enam) bulan atau lebih oleh pihak berwajib atau diputus bersalah melakukan tindak pidana oleh putusan Pengadilan (Pasal 160 UU Ketenagakerjaan);
- PHK karena karyawan melakukan pelanggaran terhadap aturan dalam PP/PKB (Pasal 161 UU Ketenagakerjaan);
- PHK karena adanya Akuisisi, Merger, atau Konsolidasi badan hukum (Pasal 163 UU Ketenagakerjaan);
- PHK karena efisiensi (Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan);
- PHK karena memasuki usia pensiun (Pasal 167 UU Ketenagakerjaan);
- PHK karena karyawan mangkir 5 (Pasal 168 UU Ketenagakerjaan).
#02 : Memahami PHK Atas Dasar Efisiensi. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Putusan MK No. 19/PUU-IX/2011 yang menguji konstitusionalitias Pasal 164 ayat 3 UU NO. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Ppada intinya menyatakan bahwa frasa “perusahaan tutup†tidak lah diatur secara detail.
Ssehingga acapkali menimbulkan multitafsir dan mengarah pada penyalahgunaan oleh perusahaan untuk kepentingan tertentu (ex.PHK massal/Lay off atas dasar efisiensi).
Lebih jauh lagi, masih ditafsirkan oleh MK, hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kelangsungan jaminan hak pekerjaan bagi buruh
Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 28D ayat 2 UUD tahun 1945.
Berdasarkan hal tersebut, atas dasar kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, kemudian MK mengeluarkan putusan yang pada pokoknya :
“PHK dengan alasan efisiensi itu konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu.”
A contrario (salah satu metode penafsiran hukum), putusan ini dapat ditafsirkan bahwa PHK dengan alasan efisiensi akibat perusahaan bukan atau tidak tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu adalah inskontitusional.
Pada praktiknya, terdapat perbedaan pendapat terkait hal ini.
Ada ahli yang tetap menyatakan bahwa PHK dengan alasan efisiensi sebagaimana diatur di dalam Pasal 164 ayat 3 UU No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan masih dapat dilaksanakan.
Dengan catatan sepanjang perusahaan tetap memenuhi kewajiban membayar hak pekerja.
Dan efisiensi yang dilakukan bertujuan untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman kebangkrutan/kerugian,strategi bisnis, dan lain-lain, bukan sebagai upaya penyelundupan hukum.
Terlepas dari hal diatas, saat ini, sedang gencar pemberitaan PHK atas dasar Efisiensi tersebut yang di lakukan di salah satu unicorn kebanggan bangsa.
Lalu apakah upaya ini adalah hal yang benar dan tepat, baik dari perspektif hukum maupun bisnis?
Jika tidak, bagaimana solusi terbaiknya?
Yuk dilanjutkan membaca artikelnya.
— Baca juga : Download Dokumen HR Disini
#03 : Alternatif Pilihan : PHK karena Kesepakatan antara Perusahaan dan Karyawan
Dalam permasalahan ini, PHK terhadap karyawan dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan antara Perusahaan dengan Karyawan.
Dengan alasan bahwa kedepannya formasi karyawan posisi dan jabatan karyawan yang bersangkutan sudah tidak ada sehingga berimplikasi pada hubungan kerja sudah tidak sempurna.
Dengan demikian ada dua pertimbangan yang perlu diperhatikan :
- Karena unsur pekerjaan sudah tidak ada (vide Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ) dan
- Karena hubungan kerja sudah tidak sempurna serta Perusahaan tidak dapat mempertahankan hubungan kerja (vide: Putusan Mahkamah Agung No. 126 K/Pdt.Sus-PHI/2014),
Dengan dasar tersebut, Perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja.
Selain alasan-alasan PHK di atas, dalam praktiknya, PHK dapat dilakukan dengan mempertimbangkan alinea ketiga Penjelasan UU PPHI.
Apabila salah satu pihak tidak ingin mempertahankan hubungan kerjanya dan tidak berkaitan dengan Pasal 153 UU Ketenagakerjaan dengan memberikan kompensasi sebesar :
- 2 kali uang pesangon sesuai Pasal 156 ayat (2),
- uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (3) dan (4) UU Ketenagakerjaan
Hal ini sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung No. 126 K/Pdt.Sus-PHI/2014.
Adapun PHK terhadap karyawan tersebut haruslah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Yaitu dengan melakukan perundingan atas maksud PHK terhadap karyawan.
Apabila karyawan menerima maksud PHK tersebut, maka kesepakatan atas PHK dituangkan ke dalam Perjanjian Bersama.
Isi dari Perjanjian Bersama harus didasarkan dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Kecuali pertentangan tersebut adalah lebih baik dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ex : paket Golden Shake Hand.
Kemudian Perjanjian Bersama tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran atas Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud ( vide Pasal 7 ayat 1,2,3,dan 4 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Perjanjian Bersama yang telah dibuat dan disepakati oleh para pihak, demi hukum dianggap memiliki kekuatan hukum yang mengikat (pact sunt servanda).
Dan berlaku seperti undang-undanga bagi para pihak untuk dilaksanakan, apabila telah memenuhi syarat sahnya sebuah perjanjian, baik syarat subjektif maupun objektif (vide Pasal 1320 KUHPerdata).
Bagaimana jika salah satu pihak, baik Perusahaan atau karyawan, tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana termatub di dalam Perjanjian Bersama?
Pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan hubungan industrial di wilayah Perjanjian Bersama didaftarkan.
Permohonan ini untuk mendapatkan penetepan eksekusi (vide Pasal 7 ayat 5 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Berdasarkan hal tersebut, untuk menimalisasi potensi perselisihan hubungan industrial pasca penandatangan dan pendaftaran Perjanjian Bersama maka perlu diperhatikan terkait dengan pelaksanaan seluruh hak dan kewajiban para pihak di dalam Perjanjian Bersama, baik secara formil (tata cara/prosedur) dan materil (subtansi), sesuai dengan kesepakatan secara sempurna, termasuk namun tidak terbatas pada :
- Pembayaran kompensasi,
- pemberian surat keterangan kerja dan/atau surat referensi kerja (untuk keperluan administrative di BPJS Ketenagakerjaan dan/atau digunakan oleh karyawan untuk melamar pekerjaan),
- pengembalian inventaris/aset perusahaan, penyelesaian tanggungan/hutang karyawan, dan lain-lain.
Apapun pilihan yang diambil, perlu dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap mengedepankan musyawarah mufakat, besar harapan hubungan industrial dapat terwujud secara dinamis, berkeadilan dan berkelanjutan untuk menjamin kemajuan dan keberlanjutan perusahaan serta kesejahteraan pekerja dan keluarga.
–
Artikel kece ini ditulis oleh Masykur Isnan, seorang IR Analyst, Advocate, Guest Lecture, Trainer dan Writer.
Beliau merupakan alumni dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Masykur Isnan seseorang aktif berkegiatan sosial, diantaranya sebagai Ketua Yayasan H. Sanusi Konte Al Masykuriyah, Founder Jagakarsa Kreatif, Public Defender LBH Sosio Justicia dan Ketua Keluarga FH UGM Angkatan 2007.
Anda dapat menghubungi beliau melalui alamat email : masykur.isnan@gmail.com.
Tulisan inspiratif Masykur Isnan lainnya dapat anda temui dalam website DoktorHukum.com
–
Ingin dapatkan Ebook HR GRATIS dan Update Artikel Terbaru ManajemenSDM.Net?
–
ManajemenSDM.net – Portal Terbaik Belajar Ilmu Manajemen SDM (HR) di Indonesia
disclaimer : semua yang tertulis disini adalah opini pribadi penulis
Untuk Pertanyaan dan diskusi silakan tulis di komentar atau silakan menghubungi :
Official WAÂ : 08986904732 (Whatsapp Only)
Email : manajemensdm.net@gmail.com
ManajemenSDM.net – Portal Terbaik Belajar Ilmu Manajemen SDM (HR) di Indonesia